Khutbah Pertama:
إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ
صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا
الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ
Ma’asyiral
muslimin rahimani warahimakumullah
Marilah
kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita
kepada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu
sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab
(anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak
lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari
orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab.
Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki
hubungan rahim atau nasab.
Banyak cara
untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling mengunjungi,
saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi
ini dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan
dengan segala hal yang mudah dikenal manusia dalam menyambung silaturahmi.
Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Silaturahmi menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan
Allah di dunia dan akhirat.
Disebutkan
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu
‘anhu:
أَنَّ
رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ
وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ فَأَعَادَهَا الرَجُلُ
فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلَا
تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَكَاةَ وَتَصِلَ ذَا
رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُهُ بِهِ دَخَلَ الجَنَّةَ
Bahwasanya
ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke
dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi
hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itu pun mengulangi
perkataannya. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun menegakkan
shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu
pergi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika dia melaksanakan apa
yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan
umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.” (Muttafaqun
‘alaihi).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الرَحِمُ
مُعَلَّقَةٌ بِالعَرْشِ تَقُوْلُ مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ
قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ
Ar-rahim
itu tergantung di Arsy. Ia berkata, ‘Barangsiapa yang menyambungku, maka Allah
akan menyambungnya. Dan barangsiapa yang memutusku, maka Allah akan memutus
hubungan dengannya’. (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi
lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahih
Bukhari, dari Maimunah Ummul Mukminin, dia berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيْدَتِي قَالَ أَوْ فَعَلْتِ
قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَّا إِنَّكَ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكَ كَانَ
أَعْظَمُ لِأَجْرِكِ
“Wahai
Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya,
“Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda,
“Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih
besar pahalanya.”
Ma’syiral
muslimin rahimakumullah,
Yang amat
disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung silaturahmi
dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya. Jika demikian
maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahim, tetapi hanya
sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu berkeinginan untuk
membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang
jauh.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
الوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ وَلَكِنْ الوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang
menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah
terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang
menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (Muttafaqun
‘alaihi).
Oleh karena
itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat kita, meskipun
mereka memutuskannya. Sungguh, kita akan mendapatkan balasan yang baik atas
mereka.
Diriwayatkan,
telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوْنِي وَأُحْسِنُ
إِلَيْهِمْ وَيَسِيْئُوْنَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُوْنَ عَلَيَّ
فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ المَلَّ وَلَا
يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai
Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan
tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka
berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka
kasar terhadapku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan
Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikian.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَهَلْ
عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا
أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ
أَبْصَارَهُمْ
“Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati
Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
(QS. Muhammad: 22-23).
Begitu pula
firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ
اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’d: 25)
Dari Jubair
bin Muth’im radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَا
يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah
masuk surga orang yang suka memutus (tali silaturahmi).” (Muttafaqun ‘alaihi).
Memutus
tali silaturahmi yang paling besar yaitu memutus hubungan dengan orang tua,
kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena
itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا
أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
Apakah
kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?” Beliau menyatakannya
tiga kali. Mereka menjawab: “Mau, wahai Rasulullah”. Maka Beliau bersabda: “Menyekutukan
Allah, durhaka kepada kedua orangtua”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah,
betapa beasr dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan
setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada
kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi
jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam
Shaihain, dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ
الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ
يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ
أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Di antara
dosa besar adalah seorang laki-laki mencela kedua orang tuanya.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, ‘Apakah (mungkin) seorang laki-laki mencela orang
tuanya? ‘ Beliau menjawab: “Ya. Dia mencela bapak seseorang lalu orang tersebut
(membalas) mencela bapaknya, lalu dia mencela ibunya, lalu orang tersebut
(membalas) mencela ibunya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
أَقُوْلُ
مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ
فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ